Sabtu, 09 April 2011

The Return of Royalty to Indonesia


Kamis, 2009 Juli 23
Perkembangan Terakhir Proyek Penulisan Buku Sejarah Kerajaan Nusantara

Perkembangan Terakhir Proyek Penulisan Buku Sejarah Kerajaan Nusantara
22 Juli 2009
(Recent Development of Project “History of Indonesian Kingdoms and Princely States, July 22th 2009)

Pada hari ini berhasil dikumpulkan data sejarah 118 kerajaan di Indonesia! Saya berharap akan mendapatkan lebih banyak data lagi untuk melengkapi buku saya.
(Today I am able to collect the historical records of 118 kingdoms and princely states. I hope to get more datas to complete my book)

Akhirnya, saya berhasil juga mengumpulkan data 118 kerajaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, padahal sebelumnya saya dilanda pesimisme akan dapat menyelesaikan proyek ini. Meskipun baru sepertiga dari keseluruhan jumlah kerajaan yang ada (300 kerajaan), tetapi perkembangan hari ini boleh dikatakan menggembirakan. Saya optimis akan dapat mendapatkan sisanya lagi. Adapun data kerajaan-kerajaan yang dapat saya kumpulkan hingga hari ini adalah sebagai berikut:

Today, I am able to collect historical record of 118 kingdoms an princely states in Indonesia; which are located from Sabang until Merauke. In the begining, I was overwhelmed by such a feeling of uncertainty whether I can finish this project or not. But today’s development seems bring promises for the future, although the records are still one third of the 300 kingdoms and princely states ever existed. I am optimist that I can get the rest. The list of already available kingdoms is as following:

Kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
1. Banten
2. Priangan
Kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Timur
Demak, Pajang, Mataram
3. Surakarta
4. Yogyakarta
5. Mangkunegaran
6. Pakualaman
7. Madura
Kerajaan-kerajaan di Aceh
8. Aceh
Kerajaan-kerajaan di Gayo (kejuron)
9. Cek
10. Buket
11. Karang
12. Linggo
13. Petiambang
14. Serbojadi Abok
15. Siah Utama
Kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara, Barat, dan Timur
16. Asahan
17. Batak
18. Deli
19. Langkat
20. Minangkabau
21. Indrapura
22. Inderagiri dan Keritang
23. Kampar
24. Kepenuhan
25. Kuantan dan Kandis
26. Kuntur Daressalam
27. Pelalawan
28. Riau Lingga
29. Rokan
30. Segati
31. Siak Sri Inderapura
32. Tambusai
Kerajaan-kerajaan di Sumatera Selatan
33. Jambi
34. Palembang
Kerajaan-kerajaan di Bengkulu
35. Sungai Serut
36. Selebar
37. Depati Tiang Empat
38. Sungai Lemau
39. Sungai Itam
40. Anak Sungai
Kerajaan-kerajaan di Bali
41. Badung
42. Bangli
43. Buleleng
44. Gianyar
45. Jembrana
46. Karangasem
47. Klungkung
48. Mengwi
49. Tabanan
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat
50. Kubu
51. Landak
52. Meliau
53. Mempawah
54. Pontianak
55. Sambas
56. Sanggau
57. Selimbau
58. Simpang
59. Sintang
60. Sukadana
61. Matan
62. Tayan
63. Bunut
64. Jongkong
65. Piasa
66. Suhaid
67. Silat
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Tengah dan Selatan
68. Banjar
69. Kotawaringin
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur
70. Berau
71. Bulungan
72. Gunung Tabur
73. Kutai Kartanegara
74. Pasir
75. Sambaliung
76. Tanah Tidung
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Utara
77. Bolaang
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah
78. Banawa
79. Bangga
80. Banggai
81. Bungku
82. Buol
83. Dolo
84. Kulawi
85. Mori
86. Moutong
87. Palu
88. Parigi
89. Poso
90. Sigi
91. Tawaili
92. Tojo
93. Toli-Toli
94. Una-Una
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
95. Bone
96. Gowa
97. Tallo
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara
98. Laiwui

Kerajaan-kerajaan di Maluku
99. Ternate
Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Barat
kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa
100. Bima
101. Dompu
102. Pekat (Papekat)
103. Sanggar
104. Sumbawa
105. Tambora
Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Timur
Kerajaan-kerajaan di Pulau Flores
106. Larantuka
107. Manggarai
Kerajaan-kerajaan di Pulau Timor
108. Amabi
109. Amanatun
110. Amanuban
111. Amarasi
112. Amfoan
113. Foenay
114. Helong
115. Insana
116. Kupang
117. Lamakmen
118. Miomaffo
119. Molo

Sumber :
http://sejarahastrologimetafisika.blogspot.com/2009/07/perkembangan-terakhir-proyek-penulisan.html


Antara Darah, Nama Besar, Harta, dan Kekuasaan: Tinjauan terhadap Perebutan Kekuasaan pada Zaman Kerajaan Hindu-Buddha

Menurut pandangan Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, yang artinya social animal (makhluk sosial/makhluk berpolitik). Pandangan umum di muka bumi ini juga mengatakan bahwa manusia itu berbeda dengan makhluk lainya: memiliki akal dan pikiran, yang akan membantu manusia untuk bertahan hidup. Akal dan pikiran ini menjadi modal utama manusia untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya; tidak jarang manusia melakukan segala cara untuk mendapatkan semuanya itu, bahkan sering mengabaikan hak-hak orang lain.
Dengan kelebihan dan keterbatasannya, manusia selalu berharap mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Untuk mendapatkan yang terbaik itu, sejarah mencatat dari mulai zaman praaksara sampai zaman sekarang manusia sering menumpahkan darah untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya.
Pada zaman praaksara, manusia sering mengadakan peperangan demi mendapatkan wilayah yang dikehendakinya. Perang antar suku, yang kalah harus pergi dari wilayahnya atau mengabdi kepada pemenang. Peperangan yang mereka lakukan sebenarnya hanya untuk mendapatkan harta, nama besar, dan kekuasaan, agar bangsa dan keturunannya menjadi orang yang besar, menguasai bangsa lain.
Perjalanana Dapunta Hyang dan Politik Perluasan Wilayah Kerajaan Sriwijaya
Catatatan sejarah pertama dalam bentuk prasasti di nusantara yang menyatakan perjalanan seorang raja "perang" yang berangka sekitar 682 M yaitu Prasasti Kedukan Bukit menceritakan tentang perjalanan Dapunta Hyang (Raja Sriwijaya) ke Mukha Upang dengan membawa sekitar dua puluh ribu pasukan. Tentang Dapunta Hyang dalam prasasti Kedukan Bukit ini memang tidak dapat disangkal tentang adanya sebuah ekspedisi militer yang dilakukan oleh Dapunta Hyang, sekaligus cikal bakal kebesaran kerajaan Sriwijaya.
Berikut adalah terjemahan dari prasasti Kedukan Bukit:
1. Bahagia! Pada tahun Saka 605 hari ke sebelas
2. Bulan terang bulan waiseka Dapunta Hyang naik di
3. Perahu mengadakan perjalanan. Pada hari ke tujuh bulan terang
4. Bulan Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga
5. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa
6. Dua ratus koli di perahu; yang berjalan darat seribu.
7. Tiga ratus dua belas banyaknya; datang di Mukha Upang
8. Dengan senang hati. Pada hari ke lima bulan terang bulan Asada
9. Dengan lega gembira datang membuat wanua……
10. Perjalanan Jaya Sriwijaya memberikan kepuasan……
Apa yang dilakukan Dapunta Hyang terhadap Mukha Upang, bisa dikatakan sebuah bentuk penyerangan terhadap wilayah lain dengan tujuan untuk mendapatkan wilayah yang lebih baik, sehingga akhinya dia mendapatkan nama besar, kekayaan dan kekuasaan. Melihat letak Mukha Upang yang berada di muara sungai besar dan dekat dengan lautan maka dia memprediksi wilayah itu akan menjadi wilayah yang besar, sebab perdagangan pada masa itu masih tergantung dengan lautan.
Keberadaan Prasasti Kedukan Bukit merupakan sebuah bukti ingin dikenangnya nama besar dia, karena sudah mampu menguasai Mukha Upang dan mendirikan kerajaan yang besar.
Prasasti Kedukan Bukit sampai saat ini memang masih menjadi bahan perdebatan yang alot berkenaan dengan kapan sebenarnya kerajaan Sriwjaya itu berdiri? G. Coedes menafsirkan sebagai prasasti ziarah raja guna memperoleh kekuatan gaib. Sedangkan N.J.Krom berpendapat sebagai berikut:
“Tidak semuanya terang, tetapi ziarah itu mencari kekuatan gaib itu mencolok sekali. Peristiwa itu cocok dengan pendapat umum di tempat-tempat lain. Mungkin hal itu berhubungan dengan peristiwa mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Suatu kenyataan ialah bahwa prasasti itu bermaksud untuk memperingati kejadian yang penting sekali untuk Negara”
Muhammad Yamin berpendapat bahwa Prasasti Kedukan Bukit berhubungan dengan peristiwa mendirikan Negara. Baru pada tahun 683 dipahat pemaklumatan proklamasi pembentukan kedaulatan Sriwijaya dengan resmi di atas batu Kedukan Bukit di Palembang. (Slamet Muljana: 1981, 70).
Pendapat-pendapat di atas akhirnya mendapat sanggahan dari Slamet Muljana yang mengatakan bahwa Prasasti Kedukan Bukit tidak mungkin bertalian dengan peristiwa mendirikan kerajaan Sriwijaya, karena pada tahun 670 kerajaan Sriwijaya telah berdiri dan mengirim utusan ke Cina. Prasasti Kedukan Bukit juga bukan prasasti siddhiyatra (tempat untuk memperingati ziarah raja guna memperoleh kekuatan gaib), karena Dapunta Hyang membawa tentara sebanyak dua puluh ribu; dua ratus koli dengan perahu dan seribu tiga ratu dua belas berjalan kaki. Prasasti Kedukan Bukit ditutup dengan kalimat Sriwijaya jayasiddayatra subhiksa artinya perjalanan jaya Sriwijaya memuaskan. Maka atas dasar itu Slamet Muljana menyebutnya sebagai prasasti jayasiddayatra. (Slamet Muljana: 1981, 70).
Terlepas dari semua perdebatan di atas, yang jelas bahwa pada tahun 682 Dapunta Hyang melakukan perjalanan ke Mukha Upang dengan membawa sejumlah pasukan yang tidak sedikit. Dia berhasil membangun dan membesarkan kerajaan Sriwijaya, menguasai perdagangan laut dan menguasai Negara-negara tetangganya sebagai jalan untuk mewujudkan misinya dalam mendapatkan wilayah kekuasaan dan keuntungan ekonomi yang besar.
Perang Strategi Perluasan Wilayah Kerajaan Sriwijaya
Salah satu yang menjadi sumber sejarah untuk mengkaji tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah berita dari Cina (I-Tsing). I-Tsing pernah datang ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 dan menetap selama enam bulan di sana untuk belajar bahasa Sansekerta, guna persiapannya ke India. Yang kedua datang lagi pada tahun 688, sepulangnya dari Nalanda (India). Selama tujuh tahun dia menetap di Sriwijaya. Pada saat menetap di sana, I-Tsing banyak menulis tentang keadaan yang berlangsung di Kerajaan Sriwijaya, dari mulai masalah ekonomi, agama dan politik.
Salah satu yang diungkapkan dalam catatan I-Tsing dan berhubungan dengan masalah politik perluasan wilayah adalah tentang keberadaan kerajaan Melayu. Pada awal kedatangannya tahun 671 kedudukan kerajaan Melayu adalah sebagai kerajaan Merdeka, sedangkan pada kedatangan kedua tahun 688 kerajaan Melayu sudah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. (Slamet Muljana: 1981, 67).
Catatan yang di buat oleh I-Tsing ini jelas menggambarkan bahwa Kerajaan Sriwijaya telah berhasil membentangkan sayap kekuasaan ke wilayah kerajaan Melayu. Menurut Slamet Muljana dengan pendudukan kerajaan Melayu, Sriwijaya menerapkan politik perluasan wilayah terhadap Negara tetangganya. Penerapan politik perlusan wilayah ini tidak terlepas dari kekuasaan dan pengamanan kerajaan.
Bukti tentang dilakukannya politik perluasan kekuasaan oleh kerajaan Sriwijaya terdapat dalam Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur bisa dihubungkan dengan keberhasilan Kerajaan Sriwijaya menguasai teluk Bangka. Selat Bangka adalah salah satu selat yang dianggap penting untuk jalur pelayaran, maka untuk mendapatkan Selat Bangka ini Kerajaan Sriwijaya harus menundukannya.
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Sriwijaya. Inilah isi lengkap dari Prasasti Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Coedes:
1. Keberhasilan !
2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberon tak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti meng ganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebas an dari bencana, kelimpahan segala nya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah
10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.
Isi Prasasti Kota Kapur merupakan sebuah kutukan kepada siapa saja yang melakukan perlawanan kepada kerajaan Sriwijaya baik dalam bentuk penyerangan langsung maupun menggunakan ilmu gaib. Melihat isi teks yang berupa kutukan, jelas bahwa daerah ini tidak diperoleh dengan gampang, atau mungkin untuk mendapatkan wilayah selat Bangka tersebut diperoleh dengan cara pertempuran.
Apa yang dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya terhadap wilayah Selat Bangka, jelas merupakan sebuah penguasaan atau perluasan kekuasaan dengan tujuan untuk mendapatkan tempat strategis dalam hal keamanan dan ekonomi. Sebagai selat maka daerah ini berpotensi untuk dijadikan pelabuhan perdagangan maupun untuk pelabuhan keamanan (markas angkatan laut kerajaan Sriwijaya).
Wilayah selanjutnya yang menjadi sasaran perluasan kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Melayu, berita I-Tsing tentang berubahnya kedudukan kerajaan Melayu dari yang sebelumnya Negara/kerajaan merdeka berubah menjadi di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dengan pendudukan Melayu, Sriwijaya sepenuhnya menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan Selat Malaka. Melayu tetap berfungsi sebagai pelabuhan, namun statusnya sudah menjadi milik Sriwijaya. (Slamet Muljana, 1981: 69).
Penguasaan untuk wilayah Sumatra terus dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya, hingga akhirnya dia berhasil menguasai perdagangan dengan kuat dan tangguh. Kepuasan kerajaan Sriwijaya untuk berjaya besar tidak sampai di sana, mereka terus melakukan ekspansi keluar pulau Jawa. Nafsu yang besar untuk mendapatkan kekuasaan, nama besar dan kekayaan ternyata tidak sampai di situ, sikap rakus dan takabur manusia semakin menjadi-jadi ketika sedang dalam kemenangan. Pada tahun 686, Dapunta Hyang melakukan ekspedisi militer ke Bhumi Jawa. Keterangan ini di dapat dari prasasti Kota kapur yang ditutup dengan ucapan:
“Tahun saka 608 (686 M) hari pertama bulan terang, bulan Waisaka, itulah waktunya sumpah itu di pahat. Pada waktu itu tentara Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa, karena (Bhumi Jawa) segan tunduk kepada Sriwijaya.”
Keterangan apa yang ada dalam Prasasti Kota Kapur ini kiranya dapat mengacu kepada Pulau Jawa, sedangkan yang letaknya dekat dengan Kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Tarumanagara. Tarumanagara sendiri sudah dikenal sejak pertengahan abad ke lima. Berangkatnya Dapunta Hyang ke Bhumi Jawa dan mengarah kepada penaklukan kerajaan Tarumanagara semakin diperkuat dengan penemuan prasasti berbahasa Melayu di Bogor yang berisi sebagai berikut:
"Prasasti ini dimaksud untuk memperingati perintah Rakryan Juru Pengambat pada tahun Saka 854 (926 Masehi) untuk mengembalikan kekuasaan kepada raja Sunda”
Dari apa yang ada dalam Prasasti Kota Kapur dan dihubungkan dengan prasasti Melayu di Bogor, maka indikasi serangan yang dilakukan kerajaan Sriwijaya ke Pulau Jawa semakin kuat dan berjalan dengan mulus. Dari keterangan Cina, diketahui bahwa Kerajaan Taruma terakhir datang utusan pada tahun 669 Masehi, dan sejak saat itu tidak datang lagi utusan ke Cina.
Sederet cerita perluasan wilayah yang dilakukan kerajaan Sriwijaya di atas, merupakan sebagian kecil dari langkah-langkah yang dilakukan raja-raja Sriwijaya untuk mendapatkan nama besar, harta dan kekuasaan. Untuk mendapatkan semua itu Kerajaan Sriwijaya rela mengorbankan banyak darah, harta dan waktu, sebagai konsekuensi atas apa yang dilakukannya.
Kertanegara dan Pamalayu
Nagarakretagama pupuh XLII/1-2 menyatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284 Masehi) Pulau Bali berhasil ditundukkan. Nagarakretagama pupuh XLI/5 menyatakan bahwa semula pengiriman ekspedisi militer ke Negeri Malayu dimaksudkan untuk menakut-nakuti penguasa Negeri Malayu, agar mau tunduk secara damai, tanpa melalui peperangan. Dari keterangan yang ditulis dalam Negarakretagama, semakin memperjelas adanya pengerahan pasukan yang dilakukan oleh Kertanegara ke wilayah Melayu.
Penyerangan terhadap Negeri Malayu berhubungan dengan letaknya yang strategis, menguasai lalu lintas pelayaran Selat Malaka. Melayu juga menjadi kota dagang internasional, tempat bertemunya kapal-kapal dagang dari berbagai Negara. Dengan keadaan geografis yang ideal untuk wilayah perdagangan, maka Kertanegara, mengharapkan Negara Melayu tunduk kepada Singasari di bawah kekuasaan Kertanegara. Dengan dikuasainya Negara Malayu maka Singasari termasuk Kertanegara akan mendapatkan semuanya yaitu nama besar, kekuasaan dan harta dari perdagangan internasional.
Pengiriman pasukan Singasari ke tanah Malayu ternyata bukan hanya ingin menguasai daerah tersebut, tapi juga berhubungan dengan pencegahan masuknya pasukan asing yaitu dari Cina di bawah Kaisar Kublai Khan, karena pada masa itu kekuatan Kublai Khan sedang dalam keadaan on fire bahkan sudah masuk ke wilayah Campa dan Kamboja. Maka untuk mencegah masuknya pengaruh tersebut ke Nusantara, Kertanegara bertindak cepat dengan mengirimkan pasukan ke Negara Melayu. Dengan penguasaan Suwarnabhumi oleh pasukan Singasari maka kekuasaan Kublai Khan dapat dicegah agar tidak masuk masuk ke wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia (sekarang).
Apa yang dilakukan oleh Kertanegara ini, berjalan dengan lancar dan gemilang, karena pada 22 Agustus 1286 Sri Kertanegara mengeluarkan Prasasti Amoghapasa yang ditunjukan kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa di Suwarnabhumi seperti berikut:
“Salam bahagia! Pada tahun saka 1208 bulan Bhadrapada……tatkala itulah arca Paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata, dibawa dari Bhumi Jawa ke Suwarnabhumi, ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah Sri Wiswarupa Kumara. Untuk tujuan itu Sri Kertanagara Wikrama Dharmottunggadewa memerintahkan Rakrian Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hyang Dipangkaradasa, Rakryan Demung Wira, untuk menghantar Paduka arca Amoghapasa.
Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Melayu termasuk para Brahmana, Satria, Waisya, Sudra dan terutama pusat segenap para arya Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa.”
Menurut Slamet Muljana, politik Sri Kertanegara yang berhasil gemilang itu secara resmi disebut politk dwipantara. Dwipantara adalah sinonim nusantara, terbukti dari prasasti Camunda bertatikh 17 Agustus 1292 yang berbunyi sebagai berikut:
“Salam bahagia! Tahun Saka 1 (214) …..Pada waktu itu ditegakan arca Paduka Bhatari. Sri Maharaja sudah puas dengan kemenangan-kemenangan yang diperoleh di segenap tempat, menjadi pelindung seluruh dwipantara.”
Strategi perluasan wilayah yang dilakukan oleh Kertanegara ternyata jitu dan mampu menjadikan kerajaan Singasari menjadi besar. Walapun memang politik perluasan wilayah dengan cara menyerang kerajaan lain sudah dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya, tetapi ternyata politik seperti ini masih bisa dilakukan. Namun semua itu ternyata tidak berjalan lama, karena terjadi pemberontakan atau perlawanan terhadap Kertanegara oleh Jayakatwang.
Sumpah Palapa: Nama Besar, Harta, dan Kekuasaan
Setelah beberapa tahun dari peristiwa Sadeng tahun 1331, Aria Tadah merasa dirinya sudah tidak kuat lagi untuk memangku jabatan Patih Amangkubhumi Majapahit, ia memohon untuk dibebaskan dari tugas. Pada tahun 1334 permohonan Aria Tadah ini dikabulkan. Sementara itu Gajah Mada sendiri pada saat itu telah mempunyai pengalaman sebagai patih di Daha selama tiga tahun. Selain sebagai patih Gajah Mada juga dianggap berjasa karena telah banyak menyelesaikan pelbagai persoalan di Majapahit, terutama yang berhubungan dengan masalah pemberontakan. Maka pada saat itu Gajah Mada dianggap sudah mampu menggantikan kekosongan Patih Majapahit yang ditinggalkan Aria Tadah. Gajah Mada ditunjuk untuk mengisi kekosongan tersebut. (Slamet Muljana, 1983: 163).
Sumpah Gajah Mada pada tahun 1334 pada upacara peresmian Patih Amangkubhumi Majapahit. (Slamet Muljana; 1983, 169). Pengangkatan gajah mada sebagai patih amangkubhumi diresmikan di Balairung. Pada saat peresmian itulah Gajah Mada mengucapkan program politiknya sebagai berikut;
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”
Artinya: Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada, “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompu, Pulau Bali,Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.
Apa yang diucapkannya merupakan sebuah program politik yang akan dilakukan oleh Gajah Mada selama ia memegang jabatan Patih Amangkubhumi. Program politik yang demikian nampaknya belum pernah ada di kerajaan-kerajaan nusantara lainnya, sehingga kedengaran asing dan sombong.
Program politik nusantara mulai diterapkan pada tahun 1343 dengan pendudukan Bali. Kemudian disusul ekspedisi ke Tanjungpura dan ke Sumatra di bawah pimpinan Pu Mada dan Aditiyawarman. Penduduk kepulauan ini di sebelah barat dan utara pulau Jawa dilakukan zaman pemerintahan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Penduduk kepulauan nusantara bagian timur kecuali pulau Bali dilakukan pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk. (Slamet Muljana, 1983: 192).
Untuk merealisasikan sumpahnya itu, Gajah Mada ternyata harus mempersiapkan kemampuan militer dan stabilitas politik di dalam kerajaan. Persiapan yang dilakukan oleh Gajah Mada untuk melaksanakan program politiknya kurang lebih 9 tahun (1343-1334). Dalam tahun-tahun tersebut Gajah Mada diperkirakan mempersiapkan politik nusantaranya dengan matang, sehingga diharapkan tidak mengalami kegagalan. Maka mulai sejak itu kekuatan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, terus merambah ke luar Pulau Jawa. Apa yang dilakukan oleh Gajah Mada ini merupakan sebuah bentuk perluasan politik kekuasaan. Dari hasil penguasaan ini, Majapahit mendapatkan semuanya seperti; kekuasaan yang luas, kekayaan yang berlimpah, nama besar sehingga ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di nusantara.
Keseimbangan antara pemikiran dan kemampuan yang dilakukan oleh Gajah Mada, serta didukung oleh kebijakan politik kerajaan menjadikan politik ini bisa dilakukan bahkan munggkin “sukses”.
Persiapan yang dilakukan hanya selama 9 tahun ini, sudah mampu mengantarkan nama Gajah Mada dan Majapahit ke panggung sejarah Nusantara.
Apa yang kita lakukan janganlah sampai terbawa nafsu dan jangan sampai kita tidak bisa mengendalikan semuanya. Ini semua ternjadi pada Gajah Mada. Gajah Mada pada saat itu berambisi besar menguasai Nusantara, seberang lautan sudah ditaklukkan sedangkan kerajaan Sunda sendiri masih belum dia kuasai.
Dalam Sumpah Palapa, Sunda tercantum sebagai Negara/kerajaan yang akan ditaklukkan, sedangkan dalam Nagarakretagama tidak disebutkan dalam daftar Negara-negara bawahan Majapahit. Ini suatu bukti bahwa Kerajaan Sunda pada saat itu masih merdeka atau belum berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pararaton menguraikan sebagai berikut:
Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya.
Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan. Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda.Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: "jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan melawan berperang." Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda.

Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya. Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak.

Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh. Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus. Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak.

Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279. Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo.
Ini merupakan catatan Pararaton tentang terjadinya Perang Bubat sekaligus kegagalan Gajah Mada, menghapuskan segala prestasi yang telah ditorehkan. Gajah Mada bersikeras ingin menaklukan Sunda sedangkan pada saat itu Sunda masih belum takluk di bawah Majapahit. Seperti telah disinggung di atas bahwa keberhasilan Gajah Mada menguasai pulau-pulau luar Jawa dan kerajaan-kerajaannya tidak terlepas dari situasi politik dalam kerajaan, dan kebijakan rajanya.
Kegagalan Gajah Mada dalam menguasai Sunda ternyata karena ada dua faktor yang tidak mendukungnya pada saat itu. Faktor tersebut adalah situasi politik, yang mana pada saat itu Raja bukan lagi Tribhuwanatunggadewi, melainkan Hayam Wuruk yang secara pengalaman dan usia masih muda. Kedua adalah kebijakan Raja, kebijakan raja sangat menentukan arah pandangan dan keberhasilan sebuah kerajaan, raja penentu segalanya. Pada saat Gajah Mada ingin menguasai Sunda, dan menginginkan Dyah Pitaloka sebagai upeti untuk raja Majapahit, sedangkan Rajanya (Hayam Wuruk) tidak menyetujui. Pertentangan antara program politik Gajah Mada dengan kebijakan seorang raja inilah yang mengantarkan Gajah Mada mengakhiri karir politiknya, sekaligus mengantarkan Majapahit secara lambat laun menjadi lemah.
Semua yang terjadi, dalam ketiga kerajaan di atas mungkin bisa mewakili pandangan politik kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara pada saat itu. Perluasan kekuasaan merupakan hal yang sering dilakukan untuk memperoleh kebesaran kerajaan dan kekayaan. Sebenarnya ada dua hal untuk memperoleh kekuasaan atau perluasaan kekuasaan yaitu dengan cara pertempuran atau perang atau militer dan dengan cara perkawinan. Apa yang dibahas di atas merupakan cara perluasan kekuasaan dengan cara militer dan hal ini yang sering dilakukan manusia bahkan sampai dengan saat sekarang. Apa yang dikemukakan di atas merupakan sebuah contoh kehidupan manusia yang diselimuti oleh nafsu kekuasaan, harta dan nama besar. Untuk mendapatkan semua itu mereka mengunakan kekuatan militer atau banyak mengorbankan nyawa dalam pertempuran. Semua orang sebenarnya sudah menyadari, kalau kemerdekaan adalah hak semua manusia, tidak bisa dipaksakan untuk bergabung, lebih baik berkorban darah dari pada tunduk.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
1981. Kuntala Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.
2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS. Pelangi Aksara
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
________. 2008. Prasasti. [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kota_Kapur. 05-Agst-09

sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/475

Sunda
SUNDA PAKUAN

Sumber :

http://www.wacananusantara.org/6/19/sunda

Sanjaya: Ahli Waris Tiga Kerajaan
Setelah memerdekaan diri dari Tarumanagara, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda, yang beribukota di Pakuan (Pakwan) yang terletak di antara Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Sementara itu, istananya dilewati oleh Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahyangan (ditulis pada abad ke-16 M, dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno), Tarusbawa hanya disebut gelarnya, yakni Tohaan ri Sunda (Raja di Sunda). Dalam Kropak 406 (fragmen Carita Parahyangan), Maharaja Tarusbawa mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan. Tarusbawa yang asalnya dari Kerajaan Sunda Sembawa ini memerintah hingga 723 M.

Karena putra sulung Tarusbawa yang bernama Rakeyan (Rakryan) Sunda Sembawa wafat mendahului ayahnya, maka putri dari almarhum Sunda Sembawa yang bernama Tejakancana diangkat sebagai ahli waris Kerajaan. Tejakancana lalu menikah dengan Rakeyan Jambri, cicit Wretikandayun. Rakeyan Jambri-lah yang pada 723 M menggantikan Tarusbawa menjadi raja kedua Sunda. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda, ia bergelar Prabu Harisdharma Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajita Sastrayudha Purnajaya. Dalam Carita Parahyangan, tokoh Rakeyan Jambri ini disebut Sanjaya, sedangkan dalam Kropak 406 disebut sebagai Harisdharma.

Setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan nama Sanjaya. Sejak masa Sanjaya, keberadaan Kerajaan Sunda selalu tumpang-tindih dengan Kerajaan Galuh. Hal ini diakibatkan raja yang memerintah di Sunda juga memegang tampuk kekuasaan di Galuh.

Sebenarnya Sanjaya merupakan ahli waris tiga kerajaan. Dari pihak ayah, ia mewarisi Galuh; dari pihak ibu ia mewarisi Medang i Bhumi Mataram (Kalingga); dari pihak istri ia mewarisi Kerajaan Sunda. Setelah Kerajaan Sunda-Galuh ia serahkan kepada putranya, Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban yang memiliki nama nobat Raden Barmawijaya, Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara (kemudian disebut Kerajaan Bhumi Mataram) pada 732 M. Tamperan adalah anak Sanjaya dari Tejakancana, yang memerintah Galuh dan Sunda antara tahun 732-739.

Perlu diketahui bahwa setelah pemerintahan Ratu Sima berakhir tahun 695, Kerajaan Kalingga (Keling) dibagi dua. Bagian barat-utara, yakni Bhumi Mataram, dikuasai Dewi Parwati, istri Mandiminyak Raja Galuh; sedangkan bagian timur-selatan, Bhumi Sambhara, dikuasai oleh Rakeyan Narayana, adik Dewi Parwati. Putra Narayana, yakni Dewasinga yang berkuasa di Bhumi Sambhara selama 18 tahun (742-760) kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke sebelah timur lagi, yakni di Warugasik, pada tahun 754. Dewasinga ini memiliki dua orang anak: yang lelaki bernama Limwana atau Prabu Gajayanalingga dan yang perempuan bernama Dewi Sudhimara. Gajayanalingga menggantikan Dewasinga sebagai raja selama 29 tahun (760-789). Sementara itu, Dewi Sudhimara menikah dengan Sanjaya yang menghasilkan seorang putra bernama Rakai Panangkaran.

Kerajaan Terbagi Dua
Tamperan yang memerintah di “negara-kembar” Galuh-Sunda selama tahun 732-739 M, terpaksa membagi kerajaan kembar itu kepada dua orang anaknya, yaitu Sang Manarah dan Sang Banga. Manarah yang bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Sakalabhuwana menjadi raja di Galuh selama 44 tahun (739-783). Sedangkan Banga atau Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya memerintah Kerajaan Sunda selama 27 tahun (739-766). Sebelum memerintah Sunda, Banga menjadi raja daerah antara tahun 739-759; baru setelah itu menjadi raja Sunda hingga tahun 766. Oleh Kropak 632 disebutkan bahwa Rahyang Banga membangun parit di sekitar istana Pakuan (nu nyusuk na Pakwan).

Ada yang menarik mengenai tokoh Banga dan Manarah ini. Carita Parahyangan memulai sejarah Sunda-Pakuan dari tokoh Rahyang Banga ini, bukan dari ayahnya, Tamperan. Bahkan, Kropak 406 tidak menyebut-nyebut tokoh Manarah. Banga sendiri menikah dengan Dewi Kancanasari, turunan Demunawan dari Saunggalah. Mereka memiliki putra bernama Rakeyan Medang (Prabu Hulukujang) yang menggantikan Banga menjadi raja selama 17 tahun (766-783). Ada kemungkinan, Hulukujang ini dulunya tinggal di keraton Medang di Bhumi Mataram, keraton yang didiami oleh ayah-kakeknya, Sanjaya; makanya oleh Carita Parahyangan disebut Rakeyanta ri Medang.

Setelah wafat, Hulukujang digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujung Kulon (Hujung Kulwan), yang berkuasa atas Sunda selama 12 tahun dan bergelar Prabu Gilingwesi. Sementara itu, adik Hujung Kulon yang bernama Sang Tariwulan (Prabu Kertayasa Dewakusaleswara) merupakan pengganti ayahnya, Sang Mansiri (Prabu Dharmasakti Wijaleswara), memerintah di Galuh selama 7 tahun (799-806).

Hujung Kulon yang memerintah tahun 783-795 hanya memiliki seorang anak perempuan, sehingga ia digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucukbhumi Dharmeswara. Rakeyan Diwus memerintah di Sunda selama 24 tahun (795-819). Ia memunyai dua orang anak, yakni Rakeyan Wuwus yang kemudian menggantikannya sebagai raja, dan seorang anak perempuan yang diperistri oleh Arya Kedaton (Kedatwan), cucu Tariwulan dari istri yang kedua.

Rakeyan Wuwus menikah dengan anak perempuan Sang Welengan (Prabu Brajanagara Jayabhuwana), Raja Galuh yang bertakhta tahun 806-813. Yang menggantikan Jayabhuwana menjadi penguasa Galuh adalah Prabu Linggabhumi, anak pertamanya, yang memegang tampuk pemerintahan tahun 813-842. Sayang, Linggabhumi tak memiliki keturunan, sehingga adik iparnya, yakni Wuwus, menggantikannya memegang roda pemerintahan Galuh setelah Linggabhuwana meninggal tahun 842. Dengan demikian, di bawah kekuasaan Wuwus yang bergelar Prabu Gajah Kulon (Gajah Kulwan), Galuh-Sunda menjadi “negara kembar” kembali. Ia memegang pemerintahan di Sunda dan Galuh hingga tahun 891.

Setelah meninggal tahun 891, Wuwus digantikan oleh iparnya yang berasal dari Galuh, yakni Arya Kedaton yang berkuasa hanya empat tahun (891-895). Karena kehadirannya tak disenangi oleh sejumlah pejabat Sunda, Arya Kedaton yang bergelar Prabu Darmaraksa Buana dibunuh oleh seorang menteri Sunda pada tahun 895. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana yang memerintah hingga tahun 913. Rakeyan Windusakti memiliki dua orang anak, yaitu Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.

Kamuning Gading kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Prabu Pucukwesi. Setelah meninggal, Kamuning Gading bergelar Sang Mokteng Hujungcariang (Yang Dikebumikan di Hujungcariang). Ia menjadi raja hanya tiga tahun, yakni pada 916, karena terjadi perebutan takhta yang dilakukan oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri. Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa atas Sunda selama 28 tahun (916-942). Yang kemudian duduk di singgasana adalah menantunya, yakni Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadharma Hariwangsa, yang berkuasa selama 12 tahun (942-954 M).

Pada masa pemerintahan Watwagong meletus perebutan kekuasaan lagi. Kali ini dilancarkan oleh anak Kamuning Gading bernama Sang Limburkancana, yang tak lain sepupu sang Raja. Limburkancana pun naik takhta pada tahun 954. Setelah wafat tahun 964, ia digelari Sang Mokteng Galuh Pakwan. Dari istrinya yang merupakan keturunan Manarah dari Galuh, Limburkancana memiliki dua orang putra, yakni Rakeyan Sunda Sembawa yang sulung dan yang kedua adalah seorang gadis yang menikah dengan Rakeyan Jayagiri (berbeda dengan Jayagiri adik Kamuning Gading). Sunda Sembawa sendiri menjadi raja Sunda menggantikan ayahnya, dengan gelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru yang berkuasa selama 9 tahun (964-973). Karena tak memiliki anak, takhta diserahkan kepada iparnya, Rakeyan Jayagiri, yang memerintah selama 16 tahun (973-989). Jayagiri memiliki gelar nobat Prabu Wulung Gadung, yang setelah wafat bergelar Sang Mokteng Jayagiri.

Posisi Jayagiri ditempati oleh Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa, anaknya. Jayawisesa yang memegang tampuk pemerintahan selama 23 tahun (989-1012) kemudian digantikan oleh Prabu Dewa Sanghyang yang memerintah hingga 1019. Karena dikebumikan di Patapan ia bergelar Sang Mokteng Patapan.

Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti
Yang muncul sebagai pengganti Prabu Dewa Sanghyang adalah anaknya yang memiliki gelar yang sangat panjang: Prabu Satya Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Bhuwanamandala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa. Raja yang lebih dikenal dengan nama Jayabhupati ini memerintah tahun 952-964 Saka (1030-1042 M). Ibu Sri Jayabhupati adalah seorang putri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri di Jawa Timur.

Permaisuri Sri Jayabupati adalah putri dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Dengan demikian, Jayabhupati merupakan saudara ipar Raja Airlangga dari Kadiri karena anak gadis Dharmawangsa yang lain bernama Dewi Laksmi merupakan istri Airlangga. Dari pernikahannya dengan putri Jawa Timur tersebut, Jayabupati memiliki anak lelaki bernama Dharmaraja. Karena pernikahan tersebut, Jayabhupati mendapat gelar dari Dharmawangsa, mertuanya. Gelar itulah yang tertulis pada Prasasti Sanghyang Tapak di Citatih, Cibadak, Sukabumi (Prasasti Cibadak).

Prasasti Sanghyang Tapak yang berhuruf Jawa Kawi dan bertahun 952 Saka (1030 M) ini menyebutkan bahwa raja yang memerintah di Kerajaan Sunda ketika itu adalah Jayabhupati. Raja ini memiliki nama gelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya. Disebutkan pada prasasti itu, Jayabhupati berkuasa di kawasan “Praharyan Sunda” dan beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Pembuatan prasasti ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M; jadi bertepatan dengan awal pemerintahan Jayabhupati. Kehadiran Prasasti Jayabhupati di Cibadak sempat menimbulkan dugaan bahwa ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun, dugaan tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Dari prasasti inilah, istilah “”Sunda sebagai nama administratif (negara) ditulis untuk kedua kalinya (setelah Prasasti Pasir Muara zaman Tarumanagara pada abad ke-5).

Dalam langgam bahasa dan tulisan, Prasasti Sanghyang Tapak menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya itu, gelar raja pun mirip dengan gelar raja-raja Dinasti Dharmawangsa Teguh, Raja Medang Kamulan yang terakhir. Tak perlu bingung, karena Jayabhupati adalah menantu Prabu Dharmawangsa. Sri Jayabhupati dalam Carita Parahyangan disebut Prabu Detya Maharaja.

Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya (yang ditandai dengan D73, D96, D97, dan D98). Keempat batu-bertulis itu ditemukan di tepi Sungai Cicatih, daerah Cibadak. Tiga batu ditemukan di dekat Bantar Muncang, Kampung Pangcalikan, yang sebuah lagi (D73) ditemukan di Kampung Leuwi kalabang. Bunyi terjemahan tiga prasasti yang ditemukan di Kampung Bantar Muncang adalah:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Radite, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandala Leswaranindita Harogowardhana Wikramat-tunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah.

Sumpah Sri Jayabhupati tersebut selengkapnya tertera pada prasasti yang ditemukan di Pangcalikan. Prasasti ini terdiri dari 20 baris. Isinya menyeru, agar semua kekuatan gaib di dunia dan di surga ikut melindungi keputusan raja. Orang yang menyalahi ketentuan tersebut penghukumannya harus diserahkan kepada semua kekuatan gaib agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Sumpah-hukuman itu ditutup dengan kalimat: “I wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu para hyang semua).

Memang, Prasasti Sanghyang Tapak ini penuh manggala (doa) dan supata (kutukan). Dari 20 baris dari prasasti no. D98 berisikan: 7 baris berisi seruan, 5 baris berisi kutukan, dan 8 baris berisi keputusan raja. Cara-cara ini bukanlah tradisi raja-raja Sunda yang sebagai masyarakat bertradisi berladang, cenderung “mahal” dengan kata-kata. Ada pun sumpah kutukan merupakan kebiasaan penganut Tantrayana, kepercayaan yang banyak dianut raja-raja Jawa Timur. Juga, dalam keempat prasasti ini tertulis jelas istilah “raja Sunda” sebanyak 6 kali: 3 kali dalam kata “Prahajyan Sunda” dan 3 kali dalam kata “Paduka Haji i Sunda”. Penulisan “raja Sunda” sebanyak itu bukanlah kelaziman raja Sunda; hanya orang luarlah (Majapahit dan Portugis, misalnya) yang memakai istilah tersebut.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut sempat menimbulkan dugaan bahwa Jayabhupati adalah orang “asing” (Jawa Timur) yang lari ke Galuh akibat serangan Airlangga dan kemudian menjadi raja di Sunda, atau raja Sunda taklukan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Akan tetapi, naskah Wangsakerta memberikan keterangan yang memungkinkan bahwa antara Jayabhupati dan Airlangga ada ikatan kekeluargaan melalui ikatan perkawinan.

Sebagai putra mahkota Sunda, Jayabhupati melihat pertikaian antara keluarganya. Sebagai keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, Jayabhupati harus menyaksikan permusuhan yang makin meruncing antara Sriwijaya dengan Dharmawangsa. Namun, ia tak bisa berbuat banyak dan hanya menjadi penonton. Kekecewaannya begitu mendalam begitu mengetahui bahwa Darmawangsa diserang dan dihabisi oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Jayabhupati diberi tahu perihal serbuan ini oleh pihak Sriwijaya, namun ia dan Dewa Sanghyang, ayahnya, diminta bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang tersurat pada Prasasti Calcuta, India (kini disimpan di sana) disebut Pralaya Medang (Hancurnya Medang), pada 1019 M.

Kedudukan Jayabhupati kemudian digantikan oleh Dharmaraja, anaknya. Dharmaraja menjadi raja Sunda selama 22 tahun (1042-1064). Karena tak memiliki anak lelaki, Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana digantikan oleh menantunya yang bernama Prabu Langlangbhumi yang memegang pucuk pemerintahan selama 90 tahun (1064-1154). Setelah meninggal, Langlangbhumi digelari Sang Mokteng Kreta, dan digantikan oleh anaknya, Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah. Menakluhur hanya berkuasa dua tahun sampai tahun 1156, yang kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmakusumah. Dharmakusumah meninggal tahun 1175 di Winduraja, dekat Kawali; karena itu bergelar Sang Mokteng Winduraja.

Nasihat Guru Dharmasiksa kepada Sang Cucu, Raden Wijaya
Yang kemudian menjadi raja di Sunda adalah anak Dharmakusumah, bernama Prabu Guru Dharmasiksa yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa atau Prabu Sanghyang Wisnu. Raja ini memerintah dalam kurun waktu yang sangat panjang sekali dan hampir mustahil, yakni selama 122 tahun, dari 1175 hingga 1297.

Guru Dharmasiksa memindahkan ibukota Kerajaan ke Saunggalah. Selama 12 tahun (1175-1187), ia memerintah di wilayah timur ini. Baru pada tahun 1187, ibukota dialihkan kembali ke Pakuan dan ia tinggal di istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Alasan kepindahannya ke Pakuan adalah karena untuk menumpas bajak laut yang sering merompak di kawasan pantai-laut utara. Maka itu, ia memilih Pakuan yang dekat ke pantai, yang dengan begitu ia pun bisa membangun armada lautnya lebih kuat. Selama 110 tahun Dharmasiksa memerintah di Pakuan.

Ada sejumlah sejarawan yang berdasarkan Kropak 406 menganggap bahwa tokoh Dharmasiksa ini identik dengan Sri Jayabhupati. Mereka pun, oleh sebagian sejarawan, dianggap berasal dari “luar Sunda” yang menjadi raja Sunda. Namun, naskah Wangsakerta menunjukkan bahwa kedua merupakan tokoh berbeda; ada empat raja yang menyelangi masa pemerintahan Jayabhupati (1019-1042) dengan Dharmasiksa (1175-1297).

Prabu Dharmasiksa (oleh Carita Parahyangan disebut Pangupatiyan atau penjelmaan Wisnu) memiliki permaisuri yang berasal dari Suwarnabhumi keturunan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman. Perlu diketahui, bahwa cerita dalam Kropak 406 ditutup atau diakhiri pada tokoh Dharmasiksa ini (abad ke-12). Ini berarti, naskah ini merupakan peninggalan masa Dharmasiksa, atau setidaknya merupakan salinan darinya. Maka dari itu, usia kropak ini jauh lebih tua dari Carita Parahyangan yang baru ditulis tahun 1580.

Perkawinan Dharmasiksa dengan putri Suwarnabhumi tersebut membuahkan beberapa orang putra, di antaranya Rakeyan Jayagiri (Rakeyan Jayadharma) dan Rakeyan Saunggalah. Jayagiri atau Jayadharma menikah dengan keponakan Raja Singasari Prabu Wisnuwardhana yang bernama Dewi Singamurti atau dikenal dengan nama Dyah Lembu Tal (dyah adalah nama untuk perempuan, sedangkan mahisa untuk lelaki). Dewi Singamurti adalah anak dari Narasingamurti (Mahisa Campaka), cucu Ken Arok-Ken Dedes; sedangkan Wisnuwardhana (Ranggawuni) sendiri adalah cucu Tunggul Ametung-Ken Dedes. Adapun, perkawinan Jayagiri-Singamurti menghasilkan seorang anak lelaki bernama Raden Wijaya yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Karena Jayagiri meninggal dalam usia muda ketika ayahnya masih berkuasa, maka Rakeyan Saunggalah yang menggantikan ayahnya menjadi raja Sunda. Setelah menjadi raja, Rakeyan Saunggalah bernama Prabu Ragasuci yang berkuasa selama 6 tahun (1297-1303). Ia memindahkan ibukota dari Pakuan ke Saunggalah di sekitar Kuningan. Raja ini memiliki permaisuri bernama Dara Puspa anak Raja Trailokyaraja Maulibhusanawarmadea dari Kerajaan Malayu. Sementara itu, kakak Dara Puspa yang bernama Dara Kancana diperistri oleh Prabu Kartanegara (anak Wisnuwardhana), raja Singasari terakhir. Sedangkan, kakak Dara Kancana dan Dara Puspa yang sulung, yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa menjadi raja Melayu menggantikan ayahnya.

Setelah wafat, Prabu Ragasuci dipusarakan di Taman, karena itu bergelar Sang Mokteng Taman. Salah seorang anaknyalah yang kemudian menggantikannya menjadi penguasa Sunda, yaitu Sang Prabu Citragandha Bhuwaraja yang menjalankan roda pemerintahan selama 8 tahun (1303-1311). Oleh Citragandha, dari Saunggalah ibukota kembali ke Pakuan lagi.

Ada pun setelah Jayagiri wafat, Raden Wijaya dibawa oleh ibunya, Dewi Singamurti, pulang ke Singasari. Di negeri asal ibunya ini, Wijaya belajar berbagai ilmu pemerintahan dan peperangan. Dan sebagai kepercayaan Kertanegara, yang juga masih pamannya, Wijaya kemudian diangkat menjadi panglima angkatan perang Singasari. Setelah menjadi raja Majapahit, Raden Wijaya yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana, sempat diberikan nasihat oleh kakeknya, Prabu Dharmasiksa. Nasihat seorang kakek kepada cucunya yang menjadi pendiri Majapahit, berkisar kepada hal-hal yang bersifat harapan dan juga larangan yang harus diperhatikan. Dharmasiksa besar menaruh harapan kepada cucunya agar menjaga hubungan yang harmonis antara Kerajaan Sunda-Pajajaran dengan Majapahit. Karena bagaimana pun, Wijaya adalah trah atau teureuh Sunda juga; bahkan bila ayahnya tak mati muda, Wijaya-lah yang akan menduduki singgasana Sunda, dan mungkin Majapahit takkan pernah ada dalam sejarah Nusantara. Wijaya diwanti-wanti agar dirinya jangan memiliki sifat agresif yang ingin selalu menyerang terhadap kerajaan-kerajaan lain, apalagi sampai terjadi peperangan antara Sunda-Majapahit. Bahkan, yang harus dilakukan adalah sebaliknya: saling membantu bila ada yang membutuhkan, saling tolong-menolong antarkedua negara tersebut.

Nasihat sang Kakek rupanya begitu diajarkan oleh Wijaya Sehingga pada masa pemerintahannya hingga masa Tribhuwana Tunggadewi (cucu Wijaya), tak pernah ada cerita kesalahpahaman antara Sunda-Majapahit. Ada pun, perselisihan antarkedua kerajaan yang terjadi pada masa Prabu Hayam Wuruk (cicit Wijaya), timbul akibat ulah Mahapatih Gajah Mada yang begitu berambisi menguasai wilayah Nusantara. Nampaknya, Gajah Mada bukanlah seorang kerabat istana melainkan seorang warga biasa atau sipil yang memiliki bakat militer khusus sehingga mampu menjadi petinggi Majapahit. Dengan demikian, ia tak terikat secara emosional dengan “pepatah” Dharmasiksa kepada Wijaya.

Wejangan Dharmasiksa terhadap anak-cucunya juga terdapat dalam Kropak 632 (dikenal juga dengan Naskah Ciburuy atau Naskah MSA). Diceritakan, Dharmasiksa memberikan petuah kepada anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama sebagai pegangan hidup. Ia pun memperingatkan agar kabuyutan di Galunggung dijaga dan dipertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang Jawa, Baluk, Cina, Lampung, dan lain-lainnya. Menurutnya, barang siapa yang memperoleh kabuyutan di Galunggung, ia akan memeroleh kesaktian bertapa, akan unggul dalam peperangan, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia dan makmur. Dari keterangan tersebut, dapatlah dipahami bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dan keramat lebih penting dibandingkan dengan, misalnya, upacara penobatan raja. Kabuyutan ini berfungsi sebagai tempat orang-orang terpelajar menulis naskah-naskah kuno, tempat berdoa dan menuntut ilmu agama.

Kawali, Ibu Kota Baru
Dharmasiksa kemudian digantikan oleh Prabu Ragasuci yang memindahkan ibukota ke Saunggalah (sekitar Kuningan); karena itu ia dikenal juga sebagai Rakeyan Saunggalah. Ragasuci memerintah dari 1297-1303. Selanjutnya, ia digantikan oleh Citragandha yang lagi-lagi olehnya ibukota berpindah kembali ke Pakuan. Citragandha memerintah selama 8 tahun (1303-1311), dan setelah wafat bergelar anumerta Sang Mokteng Tanjung (Yang Dikebumikan di Tanjung).

Yang lalu naik takhta adalah anak Citragandha bernama Prabu Linggadewata. Oleh Linggadewata, pusat pemerintahan dipindahkan, untuk pertama kalinya, ke Kawali (bukan Pakuan, bukan Saunggalah), di mana ia berkuasa selama 22 tahun (1311-1333). Ia dipusarakan di Kikis, dan karena itu digelari Sang Mokteng Kikis. Karena tak memiliki anak lelaki, Linggadewata digantikan oleh menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Raja yang menikah dengan anak perempuan Linggadewata yang bernama Rimalestari (disebut juga Uma Lestari atau Ratu Santika) ini, memerintah di Kawali juga, dari tahun 1333 hingga 1340. Setelah meninggal ia bergelar Sang Mokteng Kiding. Anaknya, Sang Prabu Ragamulya Luhurprabhawa, kemudian memegang tampuk pemerintahan selama 10 tahun (1340-1350) di Kawali. Raja ini yang dikenal juga sebagai Sang Aki Kolot ini, setelah wafat digantikan oleh anaknya, Lingga Bhuwana Wisesa yang memerintah di Kawali juga.

Susuktunggal, Uwak dan Mertua Sri Baduga
Selama ibukota berada di Kawali (juga Saunggalah), di Pakuan tentunya terdapat beberapa pejabat sebagai wakil raja. Selama seabad lebih, sejak Linggadewata tahun 1311 hingga Niskala Wastukancana tahun 1475, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda/Galuh berada di Kawali (kini termasuk wilayah Ciamis). Oleh Niskala Wastukancana, Kerajaan lalu dibagi menjadi dua wilayah. Sebelah barat, yakni Pakuan, untuk Susuktunggal; dan sebelah timur, Galuh-Kawali, untuk Dewa Niskala. Dengan demikian, terdapat dua negara yang sederajat di kawasan Parahyangan.

Prabu Susuktunggal (Sang Haliwungan) merupakan anak pertama Wastukancana dari permaisuri pertama, Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung. Sementara itu, Dewa Niskala (Ningratkancana) lahir dari istrinya yang kedua, yakni Nay Ratna Mayangsari, putri sulung Bunisora.

Susuktunggal memerintah di Sunda-Pakuan selama 100 tahun (1382-1482). Dengan begitu, ia telah memerintah ketika ayahnya, Wastukancana, belum lama memerintah Sunda; bahkan meninggalnya pun cuma berselang 7 tahun dengan sang ayah. Menurut Carita Parahyangan, selama menjadi raja di Pakuan, Susuktunggal pernah mengurug (nyaeur) Rancamaya karena merupakan tempat tinggal Sang Udugbasu, tokoh mitos yang suka mengganggu tanaman padi menurut cerita Sulanjana. (Di Bali nama Udugbasu ini selalu disebut mantram atau doa yang dipersembahkan kepada Dewi Sri, sang pelindung padi). Rancamaya sendiri terletak di sebelah selatan-barat Pakuan.

Sementara itu, saudara Susuktunggal, yaitu Ningratkancana memerintah di Galuh selama 7 tahun (1475-1482) dengan gelar Prabu Dewa Niskala. Pemerintahan “dwitungggal” Susuktunggal-Ningratkancana ini diperkokoh oleh perkawinan kedua anak mereka. Susuktunggal memunyai anak gadis bernama Kentring Manik Mayangsunda yang dinikahi oleh sepupunya sendiri, yakni anak Ningratkancana bernama Jayadewata alias Sri Baduga.

Namun, hubungan Susuktunggal dengan Dewa Niskala sempat memanas ketika Dewa Niskala menikahi “perempuan larangan”, yang berasal dari Jawa dan telah bertunangan pula. Susuktunggal pun mengancam akan memutuskan hubungan Pakuan dengan Galuh karena menilai saudaranya itu telah membuat cela keluarga. Tetapi, ketegangan tersebut dapat diatasi dengan keputusan yang cukup bijak: kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri sebagai raja. Prabu Susuktunggal menyerahkan takhta Kerajaan Sunda kepada Jayadewata, menantu sekaligus keponakannya, setelah memerintah selama seratus tahun, tahun 1382-1482 M (menurut Carita Parahyangan). Dewa Niskala pun menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada puteranya, Jayadewata atau Sri Baduga.

Dengan begitu, kerajaan kembar warisan Niskala Wastukencana kembali berada dalam satu tangan, yang tak lain adalah cucunya sendiri, Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan sejak tahun 1482. Di bawah kekuasaan Sri Baduga ini, Kerajaan Sunda mengalami kejayaannya dengan “nama baru”, Pajajaran.

Daftar Raja-raja Sunda-Pakuan (dan Galuh)
1. Maharaja Tarusbawa, Tohaan ri Sunda (669-723 M), Pakuan.
2. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri, cucu Tarusbawa (723-732 M), Pakuan-Galuh.
3. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban atau Raden Barmawijaya (732-739 M), Pakuan-Galuh.
4. Rakeyan Banga atau Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya (739-766 M).
5. Rakeyan Medang atau Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Rakeyan Hujung Kulon atau Prabu Gilingwesi, menantu Hulukujang (783-795 M).
7. Rakeyan Diwus atau Prabu Pucukbhumi Dharmeswara, menantu Gilingwesi (795-819 M).
8. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (di Pakuan dari 819-891 M dan di Galuh dari 842-891).
9. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana, adik-ipar Rakeyan Wuwus (891-895 M).
10. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
13. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
14. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
15. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru (964-973 M).
16. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
17. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan (1012-1019M), Galuh.
19. Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa (1019-1042).
20. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064).
21. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154).
22. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156).
23. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175).
24. Prabu Guru Dharmasiksa atau Paramartha Mahapurusa atau Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
25. Rakeyan Saunggalah atau Prabu Ragasuci atau Sang Mokteng Taman (1297-1303).
26. Prabu Citragandha atau Sang Mokteng Tanjung (1303-1311).
27. Prabu Linggadewata atau Sang Mokteng Kikis (1311-1333), Kawali.
28. Prabu Ajiguna Linggawisesa atau Sang Mokteng Kiding (1333-1340), Kawali.
29. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
30. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat (1350-1357 M), Galuh.
31. Patih Mangkubhumi Suradipati atau Prabu Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora atau Sang Mokteng Geger Omas (1357-1371), Galuh.
32. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang (1371-1475), Kawali.
33. Sang Haliwungan atau Prabu Susuktunggal (1382-1482 M), Pakuan.

Kepustakaan

Atja dan Edi S. Ekadjati. 1989. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.

Danasasmita, Saleh. 2006. “Hubungan antara Sri Jayabupati dan Prasasti Gegerhanjuang” (dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda). Bandung: Pusat Studi Sunda.

Danasasmita, Saleh. 2006. “Ya Nu Nyusuk Na Pakwan” (dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda). Bandung: Pusat Studi Sunda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar